Menurut Ali
Ash-Shabuni, tafsir terbagi tiga, yaitu tafsir riwayat, disebut juga
tafsir naql atau tafsir ma’tsur ( atsar ), tafsir dirayah
atau tafsir bir-ra’yi, dan tafsir isyarah atau tafsir isyari.
1. Tafsir riwayat/tafsir bil ma’tsur/tafsir naql/tafsir bil manqul adalah tafsir Al-Qur’an yang didasarkan pada penjelasan Al-Qur’an, Sunnah, atau penjelasan sahabat.( ada yang memasukkan juga penjelasan Tabi’in).
2. Tafsir
dirayah/tafsir bir-ra’yi/tafsir bil ma’qul/bil-ijtihad adalah tafsir
Al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat dan ijtihad ulama yang didasarkan
pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti dan
sewajarnya, bukan didasarkan atas kata hati atau kehendaknya.
3. Tafsir isyari adalah penafsiran
Al-Qur’an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk
yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui
oleh sebagian orang yang mengenal Allah, yaitu orang yang berkepribadian luhur
dan telah terlatih jiwanya ( mujahadah ) dan mereka yang diberi sinar
oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahsia Al-Qur’an, pikirannya penuh
dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham Ilahi atau pertolongan
Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat
dengan maksud yang tersurat dari ayat Al-Qur’an. Status tafsir isyari
menjadi perdebatan ulama tentang kebolehannya, demikian juga tafsir dirayah.
Menurut Imam As-Suyuti mengutip dari Ibnu Jarir dari berbagai sanad yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, tafsir ada empat tingkatan, yaitu :
1. Tafsir yang diketahui berdasarkan kata-kata/bahasa orang Arab.
2. Tafsir yang bisa diketahui oleh siapapun.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
Sedangkan Muhammad Abduh membagi tafsir
menjadi dua, yaitu tafsir tingkat tinggi dan tafsir tingkat rendah.
Menurut Az-Zarkasi dalam kitabnya Al-Burhan
yang dikutip oleh As-Suyuti, ada empat faktor yang harus dipenuhi dalam
penafsiran dirayah/ra’yu, yaitu :
1. Dikutip dari Rasul
dengan memperhatikan hadis-hadis yang dhaif dan maudhu’
2. Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu’ ( sampai kepada Nabi ).
3. Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arab.
4. Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai dengan ketentuan syara’. Hal ini pernah dikemukakan oleh Nabi kepada Ibnu Abbas dalam do’anya :
“Allahumma Faqqihhu Fid Din wa ‘allimhut-takwil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar