A. Sejarah Muncul dan Berkembang Kerajaan
Safawi
1.
Proses Pembentukan Kerajaan Safawi
Kerajaan Safawi berdiri secara resmi di Persia pada 1501 M. Namun
kerajaan ini tidak berdiri sendiri. Peristiwa tersebut berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup panjang. Yakni
kurang lebih 2 abad, waktu yang hampir sama dengan usia kerajaan Safawi. Cikal
bakal Safawi tumbuh lambat laun, tapi pasti menuju zaman yang penuh dengan
muatan historis yang sangat penting.
Secara etimologis nama kerajaan “Safawi”
berasal dari kata Safi yang diambil nama seorang sufi bernama Safi Al-din Ishaq
Al-Ardabili lahir pada tahun 1252 M pendiri tarekat Safawiyah dan bukan dari
kata sufi. 6 tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan Baghdad, ia lahir di kota
Ardabil sebuah kota paling Timur dari Azerbaijan. Sejak kecil ia sudah
menggemari amalan keagamaan dan kehidupan sufistik.
“Pada usia 25 tahun ia belajar pada seorang
sufi bernama Zahid Tajuddin, di Jailan dekat laut Kaspia. Kurang lebih selama
25 tahun, kemudian beliau diangkat menjadi menantu, setelah gurunya wafat ia
mengantikan kedudukan gurunya sebagai guru tarekat, tarekat ini kemudian
dikenal Tarekat Safawi yang berpusat di Ardabil”.[1]
Adapun mengenai asal usul keturunan Safi
Al-din masih menjadi problematika kontroversial. “Menurut keluarga Safawi Safi
Al-din Ishaq Al-Ardabili adalah keturunan dari Musa Al-Kazim imam ketujuh dari
Syiah Imam yang dua belas. Oleh karena itu, ia termasuk keturunan Rasulullah
SAW dari garis puterinya Fatimah.
Namun menurut pendapat yang lain Safi Al-din
adalah penduduk asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa Turki yang di pakai di
wilayah Azerbaijan, ia dianggap beraliran syiah tetapi juga sunni yang bermazhab
Syafi’i sedangkan penggantinya yang kedua Khawaja Ali merupakan penganut syiah
moderat”.[2]
Sebelum menjadi kerajaan, Safawi mengalami 2
fase pertumbuhan pertama fase dimana safawi bergerak dibidang keagamaan
(cultural) dan kedua sebagai gerakan politik (struktural).
Pada tahun 1301 - 1447 M gerakan Safawi masih
murni gerakan keagamaan dengan tarekat Safawiyah sebagai sarana, tarekat ini
mempunyai pengikut yang sangat besar hal ini terjadi karena pada saat itu, umat
umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang
berkecamuk.
Hanya dengan kehidupan keagamaan lewat sufisme, mereka mendapat
persaudaraan tarekat, dan mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan antar
muslim.
Pada fase pertama ini gerakan tarekat Safawi
tidak mencampuri masalah politik sehingga dia berjalan dengan aman dan lancar
baik pada masa Ilkhan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk. Dan dalam fase ini gerakan Safawi mempunyai
dua corak,
pertama bernuansa Sunni yaitu pada masa pimpinan Safiuddin Ishaq (
1301 - 1344) dan anaknya Sadruddin Musa (1344 - 1399),
kedua berubah menjadi
Syiah pada masa Khawaja Ali (1399 - 1427). Perubahan ini terjadi karena ada
kemungkinan bertambahnya pengikut Safawi di kalangan syiah sehingga
kepemimpinannya berusaha menyusuaian diri dengan aliran manyoritas
pendukungnya.
2.
Perubahan dari Sistem Sosial-Organik ke Sistem Religio-Politik
Pada masa 1447 - 1501 M, gerakan Safawi memasuki fase kedua yaitu
sebagai gerakan politik. Kecenderungan memasuki dunia politik terwujud pada
masa kepemimpinan Juned (1447 - 1501 M). Juned
mengubahnya menjadi gerakan politik revolusioner dengan tarekat Safawi
sebagai sarananya.
Gerakan ini mulai terlibat dalam konflik
politik antara dua kerajaan Turki yang berkuasa saat itu. Kara Koyunlu ( Black
Sheep) beraliran syiah berkuasa dibagian Timur dan Ak Koyunlu (White sheep)
beraliran Sunni berkuasa dibagian Barat di bawah imperum Usmani. Tarekat Safawi
memperluas tarekatnya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan
keagamaan. Perluasan ini menimbulkan konflik dengan Jahansyah penguasa Kara
Koyunlu pada tahun 1447 M Juned kalah dan diasingkan dari Ardabil.
Juned kemudian meminta suaka politik pada raja
Ak Koyunlu sekaligus mengadakan aliansi politik untuk bersama-bersama menghadapi
Kara Koyonlu. Hal ini dilakukannya untuk mendapatkan wilayah sebagai baris
gerakan Safawi.
Perubahan Safawi dari gerakan keagamaan
menjadi gerakan politik cukup menarik, karena sebagai tarekat sufi yang lebih
bersifat Ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan), faktor utama yang
menyebabkan adanya perubahan tersebut ada pada ajaran tarekat itu sendiri yaitu
hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya. Pemimpin tarekat
yang disebut Mursyid mempunyai wakil di daerah-daerah tertentu tempat
pengikut-pengikutnya berada, anggota tarekat harus tunduk secara mutlak kepada
Mursyid dan wakilnya itu. Oleh karena itu, ikatan antara pemimpin dengan
pengikutnya sangat kuat sehingga semacam ada hierarki spiritual. Dalam tarekat
Safawi pemimpin yang meninggal dunia selalu digantikan oleh anaknya seperti
dalam kepemimpinan dinasti, ini menjadi modal dasar yang mendorong perubahan
tersebut jika pemimpin seperti Juned memiliki ambisi politik para pengikutnya
dapat disulap menjadi tentara yang fanatik dan mendukung ambisi politik
pemimpinnya.[3]
Selama dalam suaka Ak Koyunlu baik Juned
maupun Haidar bin Juned telah melakukan kegiatan politik seperti Juned menikahi
saudara Uzun Hasan (Raja Ak Kayunlu). “Aliansi politik ini diperkuat lagi
dengan pernikahan Haidar bin Juned dengan Putri Uzun Hasan sendiri, dari
istrinya sendiri Despin Katrina, puteri Kaloo Juhannis, seorang raja Kristen
dipantai Timur Laut Hitam”.[4] Tapi menurut buku Munawiyah, dkk, Sejarah
Peradaban Islam, dikatakan bahwa Haidar menikah dengan cucu Uzun Hasan bukan
dengan putri Uzun Hasan sendiri, dari perkawinan Haidar lahir Ali, Ismail dan
Ibrahim, Ismail-lah yang kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan Safawi dan
menetapkan syiah sebagai mazhab negara.
Pada tahun 1459 M Juned berusaha menyerang
Ardabil tetapi gagal kemudian pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia
dan juga daerah Utara yang didiami orang Kristen Georgia tetapi pasukan yang di
pimpinnya di hadang oleh tentara Sirwan dan ia terbunuh dalam pertumpuran
tersebut.
Haidar pun mengikuti jejak ayahnya ia membantu
Ak Koyunlu menyerang Kara Koyunlu setelah Ak Koyunlu menumbangkan Kara koyunlu
pada tahun 1467 M, aliansi Safawi dengan Ak Koyunlu menjadi guncang. Ak Koyunlu
menganggap Safawi sebagai lawan politik yang dapat membahayakan Ak Koyunlu.
Ketika Haidar mencoba merebut Sisilia (
Sirkasia ) daerah-daerah Kristen di Utara dan Sirwan, Ak Koyunlu mengirimkan
bantuan militer kepada Sirwan. Pasukan Haidar kalah ia pun terbunuh.
“Kecenderungan Haidar menyerang
daerah-daerah Kristen di Utara di
mungkinkan untuk memperoleh daerah pijakan yang akan memperkuat basis politik
yang independen karena selama ini Safawi hanya merupakan dinasti politik
spiritual tanpa tanah air”. [5]
“Meskipun Haidar belum mewujudkan cita-cita
gerakan Safawi namun ia sempat memberikan atribut kepada pendukung-pendukungnya
berupa serban merah yang berumbai 12, sehingga mereka terkenal dengan sebutan
Qizilbas (kepala merah). Rumbai 12 yang menjadi lambang Syiah isna ‘asyar (12
imam) mempunyai pengaruh yang besar dalam menanamkan fanatisme dan militansi
para pengikut syiah”.[6]
3. Berdirinya Kerajaan Safawi Secara Resmi
Setelah kematian Haidar, Ali menggantikan ayahnya, ia didesak bala
tentara untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, tapi Ali di tangkap oleh
Ya’kub (Raja Ak Koyunlu), lalu dibuang ke Fars bersama ibu dan dua orang
saudaranya Ibrahim dan Ismail selama 4 tahun setengah (1589 – 1593 M).
Situasi itu mendorong pengikut-pengikut Safawi di Persia, Armenia,
Anatolia dan Syiria mengonsolidasikan kekuatan sendiri, hingga Ali di lepaskan.
Tetapi ketika penguasa Ak koyunlu di pegang oleh Rustam, Ali di tangkap dan
dibuang ke Ray sampai akhirnya dibunuh. Sebelum meninggal Ali sempat mengangkat
adik bungsunya Ismail bin Haidar yang waktu itu berusia tujuh tahun untuk
menjadi pemimpin Safawi.
Dalam waktu lima tahun, Ismail berhasil menghimpun kekuatan yang cukup
besar dan bermarkas di Gilan. Pada tahun 1501 M, pecah pertempuran antara Ak
koyunlu dengan Safawi di Sahrur dekat Nakhiwan dengan kemenangan di pihak
Safawi. Ismail memasuki kota Tabris dengan penuh kebanggaan dan
memproklamasikan berdirinya Kerjaan Safawi. Ia sendiri menjadi raja pertamanya
dan menjadikan Syi’ah sebagai ideologi negara.
4. Perkembangan Kerajaan Safawi
Ismail memerintah selama 23 tahun (1501 – 1524). Selama sepuluh tahun
pertama pemerintahannya, Ismail berhasil memperluas wilayah pemerintahan sampai
mencakup seluruh wilayah Persia dan sebelah Timur Fertile Creshen. Pada tahun
1502 M, Ismail telah menduduki Sirwan, Azerbaijan dan Irak. Pada 1503 M, ia
menghancurkan sisa-sisa tentara Ak Koyunlu di Hamadzan. Pada tahun 1504 Ismail
menduduki Provinsi Kaspia dari Mazandaran dan Curgan. Diyar Bakr ditaklukkan pada tahun 1505 M, dan Baghdad
jatuh ketangannya pada tahun 1508 M. Pada tahun 1510 M ia menguasai
Khurasan setelah terlibat dalam
pertempuran dengan Syaibani Khan, raja Uzbek. Kemenangan beruntun itu merupakan
sukses mewujudkan kerajaan Safawi yang membentang dari Heart (Harat) di Timur sampai Diyar Bark di
Barat.
Bahkan tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk
terus mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki
Usmani. Ismail Berusaha merebut dan mengadakan expansi ke wilayah kerajaan
Usmani (1514 M) tapi dalam peperangan ini Ismail mengalami kekalahan, Turki di
bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabris. Kerajaan Safawi
terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki, karena terjadi
perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya “ kekalahan ini membuat
Ismail I berubah, ia lebih sering menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan
berburu. Keadaan ini berdampak negatif pada Kerajaan Safawi, hingga akhirnya
terjadi persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin, antara pimpinan
suku-suku Turki, pejabat, keturunan Persia dan Qizilbash”.[7] “Penyebab utama
terjadi peperangan antara Safawi dan Usmani menurut Syalabi adalah pemaksaan
faham Syi’ah terhadap mayoritas faham Sunni, dan lebih kejam Ismail I telah
membunuh ulama Sunni di daerah Irak. Sehingga turki merasa terpanggil dengan
kebiadaban Syi’ah”.[8]
Sepeninggal Ismail I, permusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlanjut,
terjadi beberapa perang antara keduanya yaitu pada masa Tahmasp 1 (1524-1576),
Isamail II (1576-1577) dan Muhammad Khudabanda (1577-1587) pada masa tiga Raja
Safawi mengalami kelemahan, karena sering berperang dengan kerajaan Usmani yang
lebih kuat, dan juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam
kerajaan Safawi sendiri.
Kerajaan Safawi bertahan lebih 2 abad dengan pemimpin sebagai berikut:
1)
Ismail I (1501-1524 M)
2)
Tahmasap I (1524-1576 M)
3)
Ismail II (1576-1577 M)
4)
Muhammad Khudabanda ( 1577-1587 M)
5)
Abbas I ( 1587-1628 M)
6)
Safi Mirza (1628-1642 M)
7)
Abbas II (1642-1667 M)
8)
Sulaiman (1667-1694 M)
9)
Husein I (1694-1722 M)
10)
Tahmasap II (1722-1732 M)
11)
Abbas III (1732-1736 M)
B. Wujud dan Corak Kemajuan Kerajaan Safawi
1.
Kemajuan di Bidang Politik
Masa kemajuan Kerajaan Safawi tidak langsung terjadi pada masa Ismail,
Raja pertama (1501-1524 M) kejayaan Safawi yang gemilang baru di capai pada
masa Syah Abbas yang Agung (1587-1628 M) Raja yang kelima. Walaupun begitu,
peran Ismail sebagai pendiri Safawi sangat besar sebagai peletak pondasi bagi
kemajuan Safawi di kemudian hari. Dia telah memberikan corak yang khas bagi
Safawi dengan menetapkan Syiah sebagai mazhab negara. Syah Ismail juga telah
memberikan dua karya besar bagi negaranya, yaitu perluasan wilayah dan
penyusunan struktur pemerintahan yang unik pada masanya.
Seperti di katakan sebelumnya Safawi jaya pada masa Abbas I
(1587-1628). Syah Abbas yang Agung naik
tahta pada usia 17 tahun. Ketika Abbas memerintah kerajaan Safawi berada dalam
keadaan tidak stabil. Syah Abbas menempuh beberapa langkah untuk memperbaiki
situasi tersebut, antara lain:
a)
Menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan
membentuk pasukan baru yang terdiri dari bekas tawanan perang bekas orang-orang
Kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah mulai di bawa ke Persia sejak Syah
Tahmasap I (1524-1576) di beri nama “ Ghulam”.
b)
“Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara berjanji
menyerahkan wilayah Azerbaizan, Georgia dan sebagian wilayah Luristan, dan
tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar, Usman)
dalam khutbah jum’atnya”[9].
Secara politik Syah Abbas I sangat maju, karena ia mampu mewujudkan
integritas wilayah negara yang luas yang di kawal oleh suatu angkatan
bersenjata yang tangguh. Angkatan bersenjata yang di sebut “ghulam”, dalam
proses pembentukannya di katakan bahwa Syah Abbas I mendapat dukungan dari dua
orang Inggris yaitu Sir Antoni Sherly dan saudaranya Sir Rodet Sherly. Mereka
mengajari tentara Safawi untuk membuat meriam sebagai pelengkapan negara yang
modern. Kedatangan kedua orang Inggris itu oleh sebagian sejarawan di pandang
sebagai upaya strategi Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa
yang menjadi musuh besar Inggris saat itu. Bagaimanapun dengan bantuan dua
orang Inggris itu Syah Abbas memiliki tentara dapat diandalkan. Hal ini
terbukti sekitar 3.000 Ghulam di jadikan “Cakrabirawa” oleh Syah sendiri.
Kemajuan lain di bidang politik yang di tunjukkan Syah Abbas, yaitu
keberhasilannya merebut kembali daerah-daerah yang pernah di rebut Turki
Usmani.
2.
Kemajuan di bidang Ekonomi
Dengan angkatan perang “ghulam” Syah Abbas mampu melakukan expansi pada
tahun 1598 M Abbas I menguasai Heart (Harat), Marw dan Balkh. Kemudian pada
tahun 1622 M berhasil menguasai Kepulauan Hurmuz, dan pelabuhan Gumrun.
Perkembangan pesat di sektor perdagangan terjadi setelah Abbas I
menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah Pelabuhan Gumrun menjadi Bandar Abbas.
Hal ini di karenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antara Barat
dan Timur. Dengan ini, Safawi telah memegang kunci perdagangan Internasional,
khususnya di teluk Persia yang ramai, di Utara Safawi menjalin Hubungan
perdagangan dengan Rusia. Perdagangan di darat dari sentral Asia melalui
kota-kota penting di Safawi seperti Harat, Merf, Nighafur, Tabriz, dan Baghdad.
Di bidang pertanian, Safawiyah mengalami kemajuan karena daerah Bulan Sabit
yang subur (Fertile Creshen).
3.
Kemajuan di Bidang Seni Arsitektur
Ibu kota Safawi adalah kota yang sangat indah. Pembangunan besar-besaran
dilakukan Syah Abbas terhadap Ibu kotanya Isfahan.pada saat Syah Abbas I
meninggal, terdapat 162 buah Masjid, 48 buah Perguruan tinggi, 1082 Losmen yang
luas untuk penginapan tamu syah dan 237 unit pemandian umum. “Bangunan yang
paling terkenal adalah Mesjid Luthfullah yang di bangun pada 1603 M dan selesai
1618 M, merupakan sebuah Oratorium yang di sediakan sebagai tempat peribadatan
pribadi Syah. Pada sisi bagian selatan terdapat mesjid kerajaan yang mulai di
bangun pada 1611 M dan selesai pada 1629 M pada sisi bagian Barat berdiri
Istina Ali Qapu yang merupakan gedung pusat pemerintahan. Pada sisi bagian
Utara berdiri bangunan monumental yang menjadi simbol bagi gerbang menuju bazar
kerajaan dan sejumlah pertokoan, tempat pemandian, Caravansaries, mesjid dan
perguruan”[10]. Syah Abbas juga membangun Istana yang megah yang di sebut
Chihil Sutun atau Istana empat puluh tiang,sebuah jembatan besar di atas sungai
Zende Rud dan Taman Bunga Empat Penjuru.
4.
kemajuan di bidang Filsafat dan Sains
Pada Kerajaan Safawi Filsafat dan Sains bangkit kembali di dunia islam,
dan khususnya di kalangan orang Persia yang berminat tinggi pada perkembangan
kebudayaan. Perkembangan ini erat kaitannya dengan Aliran Syiah yang di
tetapkan Safawi sebagai ideologi resmi Negara.
Dalam Syiah terdapat dua golongan, yakni
Akbari dan Ushuli. Mereka berbeda dalam memahami ajaran agama. Akbari cenderung
berpegang teguh kepada hasil ijtihat para mujtahit syiah yang sudah mapan.
Sedangkan ushu;li mengambil langsung vdari Al-qur’an dan Hadits, tanpa terikat
kepada para mujtahid. Golongan Ushuli inilah yang paling berperan pada masa
Syafawi. Dibidang teologi mereka mendapat dukungannya dalam mazhab Muktazilah
pertemuan kedua elemen kelompok inilah
yang berperan pada terwujudnya perkembangan baru dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan di dunia Islam yang kemudian melahirkan beberapa filosuf dan
Ilmuan.
Ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi yaitu “aliran
filsafat perifatetik” seperti yang bdikemukakan oleh Aristoteles dan Al-farabi,
dan “aliran filsafat israqi” yang di bawa oleh
Suhrawardi pada abad XII.
Beberapa tokoh filsafat yang muncul pada masa Safawi antara lain Mir
Damad alias Muhammad Baqir Damad 1631 M yang dianggap sebagai guru ketiga
setelah Aristoteles dan Al-farabi, dan Mulla Shadra atau Shadr Al-din
Al-Syirazi. “Menurut amir Ali ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap
di zamannya”,[11] dan Baha Al-Syerazi seorang generalis Ilmu Pengetahuan.
“Dalam pengembangan ilmu pengetahuan Syah Abbas sendiri ikut aktif dalam
penelitian ilmu-ilmu tersebut, Kota Qumm pada saat itu menjadi pusat
pengenbangan kebudayaan dan penyelidikan mazhab Syiah terbesar”[12].
C. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
Sepeninggal Abbas I, kerajaan Safawi berturut-turut dipimpin oleh enam
raja, yaitu Safi Mirja (1628 - 1642 M), Abbas II (1642 – 1667 M), Sulaiman
(1667 – 1694 M), Husein (1694 – 1722 M), Tahmasap II (1722 – 1732 M) dan Abbas
III (1733 – 1736 M). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak
menunjukkkan grafik naik dan berkembang, tapi justru memperlihatkan yang
akhirnya membawa kepada kehancuran. Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi
penyebab kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam
terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu
yang akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan yang diperoleh pemerintahan sebelumnya (Abbas
I).
Kota Qandahar lepas dari kekuasaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal
yang ketika itu diperintah oleh Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh
kerajaan Turki Usmani. Syah Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras
hingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang
pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya
rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahan. Ia diganti oleh Syah Husein
yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering
memaksakan pendapat penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan
golongan sunni Afghanistan,. Pemberontakan bangsa Afgan tersebut terjadi
pertama kali pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vais yang berhasil merebut
wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil
Afghanistan berhasil merebut masyad. Mir Vais di gantikan oleh Mir Mahmud dan
ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu
merebut Afghan dari kekuasaan Safawi. Karena desakan dan ancaman dari Mir
Mahmud, Syah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya
menjadi gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak
Husein).dengan pengakuan ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun
1721 M, ia merebut Qirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan
memaksa Syah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tahun 1722 M Syah Husein
menyerah dan Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
Salah seorang putra Husein yang bernama Tahmasap II, mendapat dukungan
penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang
sah atas Persia dengan pusat kekuasaan di kota Astarabat. Tahun 1726 M,
Tahmasap II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan
mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud,
yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun
1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu dengan demikian Kerajaan
Safawi kembali berkuasa. Namun pada tahun 1732 M, Tahmasap II di pecat oleh
Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasap II) yang ketika itu
masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu 1736 M, Nadir Khan mengangkat
dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III, dengan demikian berakhirlah
kekuasaan Kerajan Safawi di Persia.
Adapun sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Kerajaan Safawi yaitu:
1.
Adanya konflik yang berkepanjangan dengan Kerajaan Usmani berdirinya
Kerajaan Safawi yang bermazhab Syiah merupakan sebuah Ancaman Bagi Kerajaan
Usmani sehingga tidak pernah ada perdamaian antara kedua kerajaan besar ini.
2.
Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan
Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Kerajaan
Sulaiman pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun
tidak pernah sekalipun menempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula
dengan Syah Husein.
3.
Pasukan Ghulam yang di bentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat
perjuangan yang tinggi seperti QizilBash. Hal ini di karenakan mereka tidak
memiliki ketahanan mental kerena tidak di persiapkan secara terlatih dan tidak
memiliki bekal rohani. Kemorosotan aspek kemiliteran ini sangat besar
pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
4.
Sering terjadinya konflik internal dalam bentuk perebutan kekuasaan di
kalangan keluarga Islam.
5.
“ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara turun
temurun, sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran Islam syiah”.[13]